Dry Cell yang Mengeringkan Cekungan Citarum

PENDAHULUAN

Debit waduk Jatiluhur dikabarkan berkurang. Anehnya, pengurangan debit waduk ini terjadi di musim penghujan (Januari hingga Februari), dan penyebabnya adalah dry cell di hulu Citarum.
Dry cell adalah fenomena cuaca ketika angin yang masuk ke suatu daerah tidak membawa lembaban, atau sedikit sekali membawa lembaban. Penyebabnya bisa karena pemblokiran angin lembab oleh gunung sehingga lembaban terkuras di lereng gunung dalam bentuk hujan orografik, bisa juga terjadi karena "pulau panas".
Di sini, saya akan coba membahas penyebab yang kedua, yakni "pulau panas" karena sebenarnya inilah penyebab utama terbentuknya dry cell di Hulu Citarum. Apalagi jika kita melihat ketinggian pegunungan di kawasan Bogor dan sekitarnya terlalu "pendek" (500 - 1000 meter) untuk menciptakan efek orografis yang maksimal.
Seperti yang telah dimuat "Kompas" pada edisi hari Rabu tanggal 25 Mei 2011, bahwa penyebab dry cell adalah terkurasnya lembaban dari Laut Jawa di Jakarta Selatan, Bogor, serta Bekasi Selatan seperti ditunjukkan bagan berikut.

Bagan di atas adalah gambaran sederhana mengenai proses terbentuknya dry cell di hulu Citarum.


PULAU PANAS

Jabodetabek merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Di Jabodetabek, Tingkat kepadatan penduduk berbanding lurus dengan luas permukiman, karena pola permukiman di Jabodetabek umumnya menyebar secara horizontal. Permukiman penduduk dapat disebut "pulau panas" karena memang suhu udara di atas permukiman lebih panas dibanding daerah sekitarnya. Hal ini disebabkan jumlah radiasi yang dipantulkan lebih banyak daripada yang diserap, dan radiasi ini memanaskan udara sekitarnya.
Sesuai dengan hukum gas ideal, jika suhu udara naik maka otomatis volumenya bertambah dan kerapatannya berkurang. Udara panas ini naik dan mendingin dengan cepat di troposfer.
Sambil mendingin, udara ini juga membawa uap air. Jika suhu uap air turun hingga mencapai titik dimana kelembaban relatifnya menjadi 100%, maka terbentuklah awan. Awan akan terus tumbuh hingga tercapailah suatu keadaaan yang cocok untuk turunnya hujan.
Pulau panas membuat suhu udara sekitarnya lebih tinggi, sehingga proses penaikan udara menjadi lebih cepat. Jika ditambah dengan kelembaban yang tinggi, hal ini akan menyebabkan uap air yang naik ke atmosfer menjadi sangat banyak. Atmosfer dengan kelembaban tinggi lekas menjadi jenuh dan hujan akan turun dengan deras disertai petir di wilayah "pulau panas" tadi segera setelah tengah hari.


"PULAU PANAS" SEBAGAI PENYEBAB DRY CELL



Bagan di atas menjelaskan mekanisme terjadinya hujan di hulu Citarum secara umum ketika pulau panas di Pantura Jawa belum menjamur seperti sekarang. Tahap-tahap pembentukan hujan dari bagan di atas adalah:
1.) Angin barat laut yang panas dan lembab datang dari Laut Jawa dan masuk ke Pantura Jawa di Banten.
2.) Angin barat laut ini terus mengumpulkan lembaban dari proses transpirasi tumbuhan sementara ia melewati bentang alam yang hijau di Banten. Bentang alam yang hijau ini mencegah lembaban untuk naik lebih tinggi karena banyak panas yang diserap. Awan tetap terpecah sementara udara makin lembab.
3.) Angin barat laut melewati pegunungan di selatan Bogor. Pada tahap ini awan hujan sudah mulai terbentuk.
4.) Awan hujan diangkat tinggi-tinggi ketika sampai di Hulu Citarum yang telah dipanasi sejak siang hari. Pada tahap ini awan hujan telah jenuh dan hujan pun turun.
Mekanisme di atas tidak berlaku untuk angin yang datang ke Hulu Citarum dari arah Timur laut, utara, dan selatan.

Namun, ketika pembangunan di kawasan Jabodetabek makin pesat, maka mekanisme tadi berubah, seperti dijelaskan bagan berikut.

Pulau panas JABODETABEK membuat uap air yang ditiup angin barat laut dari Laut Jawa tertahan dan naik. Mengapa tertahan? Karena udara panas JABODETABEK mampu menahan banyak uap air (semakin tinggi suhu udara, uap air yang dapat ditahan oleh udara tersebut makin banyak). Kemudian uap air yang telah ditahan tersebut naik dengan cepat ke troposfir atas dan mendingin dengan cepat pula. Kenaikan uap air yang cepat karena didorong panas akan membentuk awan CB. Awan CB ini menurunkan hujan di wilayah JABODETABEK karena bobotnya yang berat susah dipindahkan oleh angin. Awan CB ini terbagi atas dua bagian, yakni updraft (aliran naik) dan downdraft (aliran turun). Aliran naik ini mengangkat udara panas dan lembaban tinggi-tinggi ke langit, sedang aliran turun menurunkan hujan deras dan angin dingin yang menyebar ke sisi belakang awan. Angin dingin ini, yang membawa sedikit lembaban, bertiup pelan hingga pegunungan dan kemudian sampai di Hulu Citarum. Karena sifatnya yang kering, angin ini menghisap kelembaban di tempat-tempat yang terlewatinya.


MADDEN-JULIAN OSCILLATION DAN PENGARUHNYA TERHADAP DRY CELL

Madden-Julian Oscillation atau MJO, adalah variasi atmosfir tropis intra-musim (30-90 hari), yang merupakan perpaduan antara sirkulasi atmosfer dan konveksi udara tropis yang kuat (Wikipedia). Osilasi MJO ini mengelilingi kawasan tropis dengan kecepatan 5 m/s ke arah timur, sembari membawa kawasan tekanan udara rendah bersamanya. Jika Dry Cell ini terjadi berbarengan dengan MJO positif, efeknya mungkin tidak seberapa bagi hulu Citarum. Namun, jika Dry Cell ini terjadi berbarengan dengan MJO negatif, maka efeknya cukup signifikan, dan inilah yang terjadi pada musim hujan Januari - Februari 2011, seperti yang ditunjukkan oleh grafik index MJO di bawah.

Diagram di bawah adalah diagram anomali Outgoing Longwave Radiation, dengan wilayah yang dicerahkan adalah antara 105 hingga 110 bujur timur (kawasan MJO Index 2 yang juga meliputi wilayah Jawa Barat) antara Januari hingga Februari.
Dari diagram di atas, terlihat bahwa antara Januari hingga Februari, pada 105 hingga 110 bujur timur terjadi radiasi gelombang panjang kurang dari biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa konveksi di wilayah Jawa bagian barat cukup tinggi. Konveksi ini mendukung terbentuknya badai-badai petir di wilayah JABODETABEK dan Dry Cell di wilayah Hulu Citarum.
Diagram di bawah adalah anomali arah angin pada lapisan troposfir yang memiliki tekanan 850 Hektopascal. Wilayah yang dicerahkan adalah wilayah MJO Index 2, antara 105-110 bujur timur yang meliputi Jawa bagian barat.

Dari diagram di atas, terlihat bahwa wilayah MJO Index 2 pada bulan Januari hingga Februari didominasi warna kuning yang berarti arah angin barat ke timur dominan. Hal ini sangat mendukung fenomena Dry Cell di wilayah Hulu Citarum.

Komentar

  1. maaf, saya meragukan penyebab utama adalah "pulau panas" karena perbandingannya hanya keadaan tahun 2010 dan 2011 saja. Coba perhitungkan kemunculan Tropical Cyclone di utara dan barat Australia pada bulan tersebut diperbandingkan antara 2010 dan 2011. Pada bulan Jan 2010 ada 3 TC, satu diantaranya katagori severe TC di utara. Sedangkan pada bulan januari 2011 ada 3 TC, ketiganya ada di timur. Oke2009@yahoo.co.id

    BalasHapus
  2. terimakasih okews2009 atas tanggapannya. Dry Cell tergolong fenomena cuaca skala mikro, sedangkan Tropical Cyclone merupakan fenomena cuaca skala sinoptik. Tropical Cyclone tentu mempengaruhi dry cell dengan cara menarik angin ke arah Cyclone tersebut.
    Pada Januari 2011, Terjadi 3 TC di Australia yakni Bianca,Zelia, dan Anthony. Namun Zelia dan Anthony tidak berpengaruh terhadap kawasan Jawa Barat, sebab lokasinya yang terlalu jauh. Anthony dan Zelia lebih memengaruhi cuaca Indonesia Timur. TC Bianca, juga tidak berpengaruh banyak karena hanya pada fase awal dia berada dekat Indonesia, selebihnya tidak. Malah keberadaan Bianca semakin memperkuat efek Dry Cell dengan menciptakan angin barat daya di Pulau Jawa. MJO negatif (lemah) membuat angin barat daya yang melemah dan lembab segera terhalang oleh konveksi di wilayah Jabodetabek.
    Untuk tahun 2010, Pada bulan Januari terjadi MJO Positif. Walaupun ada 3 TC yakni Magda, Edzani, dan Neville, hujan tetap turun normal karena 1.) Edzani tidak terlalu berpengaruh sebab pergeseran angin yang diakibatkan dia cukup lemah, 2.) Magda membawa angin barat tapi efek dry cell yang diakibatkan dia dipatahkan oleh MJO Kuat, 3.) TC Neville terlalu jauh sehingga efeknya tidak terlalu berarti. MJO pada bulan Januari 2010 adalah positif (kuat) dengan angin baratan yang lemah. Maka hasilnya, MJO Kuat + angin baratan lemah = tidak terlalu berpengaruh, selain itu pada bulan Februari 2010 terdapat beberapa minggu yang diisi oleh angin timur sehingga efek dry cell tidak terjadi. Pada tahun 2002, saat terjadi banjir besar di Jabodetabek, Angin yang berperan bukanlah angin barat, tapi angin timur, membuat konveksi di wilayah Jabodetabek jadi tak berarti karena udara lembab dari timur telah dinaikkan sebelumnya di kawasan Pantura yang lain, dan di Jabodetabek, awan itu sudah cukup jenuh.
    Jadi di sini, dry cell ada karena kombinasi konveksi di Jabodetabek telah menghalangi siklus cuaca alamiah yang telah didesain MJO.

    BalasHapus
  3. Bagaimana dengan data curah hujan di daerah "Pulau panas" ?

    BalasHapus
  4. Untuk data curah hujan, saya tidak memilikinya karena harus membeli dari stasiun BMKG dengan harga 10.000-50.000 rupiah/stasiun/tahun. Artikel yang saya buat di atas hanya sebagai hipotesis penguat artikel "Kompas".

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Determinan Matriks n x n

Fungsi Error

Swanilai (Eigenvalue) dan Pengenalan Wajah